SUARANUSRA.COM – Teater Lho Indonesia merayakan 35 tahun perjalanan kreatifnya dengan sebuah penanda penting: pentas di Festival Teater Indonesia (FTI) 2025.
Kelompok teater yang dikenal dengan konsistensi dan keberanian bereksperimen ini akan menghadirkan lakon Borka pada hari pertama festival, 10 Desember 2025, di Taman Budaya Provinsi NTB.
Momen tiga setengah dekade ini tidak hanya dirayakan, tetapi dijadikan ruang bertumbuh. Lakon Borka, yang diadaptasi dari cerpen Belfegor karya Kiki Sulistyo, dipilih untuk merefleksikan proses kreatif yang terus hidup melalui pembacaan ulang dan pemaknaan baru.
“Momentum ini adalah ruang bertumbuh, bagi naskah, aktor, dan seluruh elemen estetis kami,” ujar sutradara sekaligus penulis naskah, R. Eko Wahono, di Taman Budaya Mataram. Senin (08/12/2025).
Borka mengangkat tema berat tentang kekuasaan, keserakahan, dan trauma perempuan dalam masyarakat patriarkal. Eko dan tim kreatif menggali secara mendalam simbol “ruang bawah tanah”, baik sebagai ruang fisik, batin, maupun bawah sadar.
“Perdebatan konseptual tentang makna ruang bawah tanah justru melahirkan napas baru bagi Borka,” imbuhnya.
Adaptasi ini menempatkan dua tokoh perempuan, Sirin dan Nenek, dalam posisi berlapis sebagai korban sekaligus pewaris kekerasan. Uniknya, Eko memperkenalkan “bola cahaya” sebagai simbol baru Belfegor—iblis kekayaan yang menggoda manusia ke dalam lingkaran keserakahan tanpa ujung.
Lakon ini bekerja pada dua lapisan: mitologis dan sosiologis. Di satu sisi berbicara tentang iblis, di sisi lain menjadi kritik terhadap kapitalisme, materialisme, dan pudarnya empati dalam masyarakat modern.
Pementasan Borka versi 2025 didukung oleh tim kreatif dan pemain yang beragam. Para pemain, seperti Sopiyan Sauri (Paman), Yulianerny (Nenek), Bagus Maulana (Borka), dan Witari Ardini (Sirin), membawa perspektif unik dari latar sosial mereka masing-masing.
Di balik layar, kolaborasi artistik turut memperkaya panggung. Gde Agus Mega, etnomusikolog, menyusun bunyi perkusi ambience sebagai “suara bawah sadar”, sementara Akmal Sasak merancang set berbentuk tabung silinder limas segi enam yang menjadi ruang bawah tanah metaforis. Simbol bola cahaya dihidupkan melalui permainan cahaya yang menciptakan efek visual tentang godaan kekuasaan.
Penata visual, Kharisma Priasa, menghadirkan videografi yang menampilkan “arus pikiran” tokoh melalui gambar abstrak, mengubah panggung teater menjadi pengalaman sinematik yang imersif.
Secara keseluruhan, Borka adalah cermin bagi masyarakat modern. Bola cahaya tidak hanya mewakili kekayaan, tetapi juga teknologi dan kemajuan yang bisa menjerat manusia.
“Ruang bawah tanah adalah metafora sekaligus kenyataan sosial: tempat trauma, keserakahan, dan rahasia disembunyikan,” tegas Eko.
Dengan pementasan ini, Teater Lho Indonesia tidak sekadar merayakan usia, tetapi menegaskan kembali peran teater sebagai ruang renungan moral dan penyembuhan sosial. (SN/02)

Comments