![]() |
| Anggota Komisi VIII DPR RI Fraksi Partai Demokrat, Nanang Samodra (foto/istimewa) |
SUARANUSRA.COM – Viralnya seorang pendakwah muda yang mencium anak kecil di tengah ceramahnya diangkat sebagai momentum untuk memperbaiki sistem pembinaan dakwah di Indonesia. Anggota Komisi VIII DPR RI Fraksi Partai Demokrat, Nanang Samodra, mendorong Kementerian Agama untuk segera menata ulang standar etika dan tata cara berdakwah agar kejadian serupa tidak terulang di masa depan.
Pandangan ini disampaikan Nanang dalam sebuah forum wawancara bersama BeritaSatu pada Rabu (12/11/25), yang juga menghadirkan KH Zaharul Azhar As’ad (Gus Hans) dari Gerakan Nasional Ayo Mondok dan Ikhean Abdullah, Wakil Sekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Nanang mengungkapkan bahwa inisiatif untuk membekali para dai sebenarnya pernah ada. “Beberapa tahun lalu, Kementerian Agama sebenarnya sudah pernah berinisiatif memberikan pelatihan kepada para dai agar memahami batas-batas sosial dan etika dalam berdakwah. Tapi waktu itu penolakannya luar biasa, sehingga program itu tidak jadi terlaksana,” ujarnya.
Menurut politisi dari Dapil NTB II itu, ruang dakwah di Indonesia saat ini dinilai terlalu longgar. Ia menyoroti kurangnya pembekalan bagi para penceramah, terutama mereka yang baru kembali dari luar negeri dan membawa gaya dakwah yang belum tentu sesuai dengan konteks sosial Indonesia.
“Kita sering lihat, ada yang baru pulang dari luar negeri langsung menghakimi, mengkafirkan, atau membid’ahkan pihak lain. Padahal mereka perlu dilatih lagi agar bisa menyesuaikan diri dengan kondisi kita di sini. Indonesia ini negara kesatuan, bukan negara agama,” tegas Nanang.
Ia menilai penting bagi Kementerian Agama, khususnya Direktorat Jenderal Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren, untuk segera merumuskan pedoman etika dan pembinaan dakwah secara nasional. “Ini momentum bagi Dirjen Pondok Pesantren untuk mempercepat pembenahan. Jangan hanya reaktif pada kasus, tapi jadikan ini pintu masuk untuk memperkuat sistem pembinaan dakwah kita,” ujarnya.
Sebagai perbandingan, Nanang menyebut bahwa di beberapa negara tetangga, seorang dai tidak bisa sembarangan tampil di publik tanpa izin resmi. “Di sana ada sistemnya, ada pelatihannya. Jadi yang naik mimbar itu benar-benar paham adab dan tanggung jawab dakwah,” katanya.
Ia menekankan bahwa inti dari dakwah bukan hanya soal menyampaikan pesan agama, tetapi juga menjaga nilai-nilai akhlak dan menghormati norma sosial yang berlaku di masyarakat majemuk. “Para dai muda perlu diingatkan bahwa berdakwah itu bukan hanya menyampaikan ayat, tapi juga soal menjaga akhlak dan etika publik. Jangan sampai dakwah kehilangan ruh moralnya,” tutup Nanang.
Dorongan ini diharapkan dapat menjadi langkah awal bagi terciptanya sistem pembinaan dakwah yang lebih terstruktur dan beretika, menjaga marwah dakwah sebagai penyampai pesan agama yang penuh hikmah dan teladan. (SN/03)

Comments