Kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) Lombok Timur (foto/istimewa) 

SUARANUSRA.COM – Kebijakan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) Lombok Timur yang mendorong guru mata pelajaran (Mapel) tingkat SMP untuk mengajar sebagai guru kelas di Sekolah Dasar (SD) menuai beragam reaksi, mulai dari dukungan hingga penolakan. Wacana ini muncul sebagai respons atas kekurangan guru SD menyusul pensiunnya 284 guru tahun ini.

Kepala Dikbud Lombok Timur, Izzudin, pertama kali mengemukakan gagasan ini untuk mengatasi kekosongan tenaga pendidik di tingkat dasar. Namun, ide tersebut justru memicu kegaduhan di kalangan pendidik dan kepala sekolah.

Sekretaris Dikbud Lotim, H. Jumadil, menjelaskan bahwa kebijakan ini membuka peluang bagi guru Mapel SMP yang telah lulus Pendidikan Profesi Guru (PPG) dan bersertifikasi. Ia menekankan masalah ketimpangan distribusi guru bersertifikasi.

“Distribusi guru bersertifikasi selama ini belum merata. Kadang dalam satu sekolah guru sertifikasi menumpuk, sementara di sekolah lain kekurangan,” ujar Jumadil, Rabu (04/06/2025).

Jumadil menegaskan bahwa guru bersertifikasi wajib memenuhi beban kerja minimal 24 jam mengajar per minggu sebagai syarat pencairan tunjangan profesi. Banyak guru Mapel di SMP kesulitan memenuhi kuota jam mengajar tersebut. Oleh karena itu, Dikbud mendorong mereka untuk proaktif mencari lowongan di SD yang membutuhkan dan sesuai dengan keahliannya.

“Sayang kalau sudah sertifikasi tapi tidak bisa menerima tunjangan karena jam mengajar kurang. Kami minta mereka proaktif mencari SD yang sesuai,” imbaunya.

Namun, wacana ini tidak berjalan mulus. Jumadil mengakui sejumlah sekolah dasar menolak menerima guru SMP beralih fungsi menjadi guru kelas. Alasannya, SD tersebut merasa telah memiliki cukup guru kelas.

“Tidak sedikit sekolah yang menolak dengan alasan sudah memiliki guru kelas yang cukup,” jelas Jumadil.

Ia pun meminta sekolah-sekolah yang mampu untuk memberikan ruang bagi guru Mapel SMP yang berupaya memenuhi jam mengajarnya. Hal ini penting mengingat perjuangan guru untuk memperoleh sertifikasi melalui PPG bukanlah proses yang singkat.

“Kalau tidak diberi kesempatan, mereka tidak bisa mencairkan tunjangan sertifikasi. Padahal proses ikut PPG itu panjang dan melelahkan,” pungkas Jumadil.

Wacana redistribusi guru lintas jenjang ini menyoroti kompleksnya persoalan pemerataan guru dan pemenuhan beban mengajar sertifikasi di Lombok Timur, di tengah urgensi mengisi kekosongan besar akibat gelombang pensiun guru SD. (SN/01)