Oleh : Saparwadi 


"Kalau kita tidak tahu sejarah, kita akan menjadi orang asing di negeri sendiri." (Pramoedya Ananta Toer)


KILAS balik kejayaan,  Rambang dan awal konektivitas udara Lombok. Pulau Lombok, yang kini dikenal luas karena keindahan alamnya dan keberadaan Bandara Internasional Zainuddin Abdul Madjid (BIZAM), pernah memiliki bandar udara yang berperan vital jauh sebelum era modernisasi. 

Nama bandara itu adalah Bandara Rambang, terletak di Desa Surabaya, Kecamatan Sakra, Lombok Timur. Dibangun pada era kolonial Belanda, Bandara Rambang adalah bandar udara pertama dan tertua di NTB, dan pernah menjadi yang terbesar dari sisi aktivitas serta peran strategisnya pada zamannya.

Di masa lalu, Bandara Rambang menjadi penghubung penting dalam lalu lintas udara antara Lombok, Bali, dan wilayah timur Indonesia. Bukan hanya fungsi komersial, tapi juga militer. 

Dalam berbagai dokumen sejarah dan arsip foto, tampak jelas bahwa bandara ini digunakan untuk kepentingan penerbangan militer dan logistik di masa penjajahan dan kemerdekaan awal. Artinya, keberadaan Bandara Rambang adalah bagian dari rekam jejak pertahanan negara yang sah dan otentik.

Aset Pertahanan Negara yang diabaikan, saat ini, status lahan Bandara Rambang berada di bawah kewenangan Kementerian Pertahanan/TNI AU. Dengan demikian, secara hukum dan strategis, ia termasuk dalam aset pertahanan negara. 

Dalam konteks global yang kian tidak pasti, dengan ancaman perang asimetris, bencana alam berskala besar, dan instabilitas regional, keberadaan bandara cadangan sangat diperlukan.

Mengalihfungsikan Bandara Rambang tanpa kajian pertahanan yang komprehensif berpotensi melemahkan posisi strategis NTB dalam skema logistik dan mobilisasi darurat. Meskipun NTB telah memiliki Bandara Internasional Lombok, namun dalam skenario perang atau bencana, satu titik bandara besar belum cukup. Bandara seperti Rambang dapat berfungsi sebagai alternate airbase, airdrop zone, atau bahkan pusat pengungsian udara.

Alasan demi ketahanan pangan sebagai pijakan melakukan alih fungsi Bandara Rambang menjadi lahan tambak udang l akan menjadi dilema ketahanan pangan versus Ketahanan Sejarah. Ketika Pemerintah menilai bahwa lahan tak produktif harus dioptimalkan untuk menghasilkan nilai ekonomi, termasuk mendukung budidaya udang yang memang menjadi andalan Lombok Timur, namun di sinilah persoalannya: ketahanan pangan seharusnya tidak bertentangan dengan ketahanan sejarah dan kultural. 

Kita tidak boleh melupakan bahwa pembangunan sejati adalah pembangunan yang menghargai masa lalu, tidak hanya mengejar keuntungan jangka pendek. Bila kita kehilangan warisan sejarah demi komoditas, maka kita sedang menjual ingatan kolektif kita sendiri.

Kita tak bisa memungkiri pentingnya ketahanan pangan. Terlebih Lombok Timur memang dikenal sebagai lumbung udang nasional. Tapi di situlah letak dilemanya, haruskah ketahanan pangan dibayar dengan menghapus jejak sejarah? Bukankah keduanya bisa dijalankan secara paralel dan berimbang?

Ketika narasi pembangunan hanya berorientasi pada "hasil langsung" dan "produktifitas lahan", maka warisan sejarah menjadi korban pertama. Kita kehilangan bukan hanya situs fisik, tapi juga identitas kolektif, memori publik, dan kebanggaan lokal. Apa jadinya jika anak cucu kita kelak hanya mengenal Rambang sebagai "tambak udang biasa", bukan sebagai tempat di mana Lombok pertama kali menyapa langit?

Suka tidak suka pasti ada dampak negatif dari alih fungsi lahan Bandara Rambang menjadi tambak udang, bukan hanya sekedar kehilangan fungsi sejarah belaka, tapi ada berbagai dampak negatif yang perlu dipertimbangkan secara serius, di antaranya :

Pertama, hilangnya memori kolektif lokal, di manq anak-anak generasi baru di Lombok Timur boleh jadi tidak akan pernah tahu bahwa daerah mereka pernah menjadi pusat transportasi udara utama. Nilai edukasi dan kebanggaan lokal perlahan terkikis.

Kedua, hilangnya potensi wisata sejarah dan edukasi. Di tengah tren wisata sejarah dan museum hidup, Bandara Rambang seharusnya bisa dikembangkan sebagai destinasi sejarah penerbangan. Alih fungsi ke tambak udang tentu menutup potensi ekonomi alternatif ini.

Ketiga, adanya ancaman terhadap kedaulatan Pertahanan Nasional, jika sewaktu-waktu Indonesia memerlukan bandara alternatif untuk operasi militer atau darurat, maka kehilangan Bandara Rambang akan menjadi kerugian strategis yang tidak bisa digantikan dengan mudah.

Keempat, kerusakan ekosistem pesisir dan air tanahIndustri tambak udang intensif dikenal memiliki dampak buruk terhadap kualitas air tanah, ekosistem laut, dan daya dukung lingkungan, khususnya jika dilakukan tanpa regulasi ketat.

Kelima, melahirkan ketimpangan tata ruang dan aset negara, karena ketika aset strategis negara dialihkan ke sektor privat tanpa partisipasi publik yang kuat, maka ini dapat menjadi celah bagi praktik korporatisasi ruang dan melemahnya kontrol negara atas tanah penting.

Pihak terkait dalam hal ini TNI - AU atau pun Kementerian Pertahanan selaku pihak yang menguasai lahan Bandara Rambang bersama Pemerintah Daerah harus mencari Jalan Tengah, melakukan revitalisasi Bandara Rambang tanpa menghapus identitas.

Pemerintah daerah, bersama Kementerian Pertahanan dan pelaku usaha, harus duduk bersama membuat peta jalan pemanfaatan Rambang yang menghormati sejarah, menjaga aspek pertahanan, dan tetap mendukung produktifitas ekonomi, seyogianya lah semua pihak terkait mengambil posisi bijak dengan melestarikan nilai sejarah tanpa menghambat pembangunan. Revitalisasi Bandara Rambang sebagai museum udara, lapangan latihan darurat, atau destinasi sejarah edukatif adalah pilihan yang tak hanya menjaga identitas, tetapi juga membuka peluang ekonomi berbasis pariwisata sejarah.

Bahkan bisa saja, dengan pendekatan kolaboratif, area sekitar bisa dimanfaatkan untuk tambak teknologi tinggi tanpa mengorbankan seluruh tapak sejarahnya. Di sinilah letak kecerdasan perencanaan ruang yang sebenarnya, tidak membunuh masa lalu demi masa depan, tapi menjahit keduanya dalam satu kanvas besar bernama keberlanjutan.

Kita tidak boleh abai dengan alasan ketahanan pangan lalu membiarkan Warisan Bangsa Menjadi Korban Komoditas, bukan kah Bandara Rambang adalah jendela masa lalu yang membawa pelajaran penting bagi masa depan. Alih fungsi lahan memang sah sebagai bagian dari pembangunan, namun bukan berarti semua bisa dijustifikasi atas nama efisiensi atau ketahanan pangan. Sejarah adalah akar yang menjaga bangsa tetap berpijak, dan kehilangan satu tapak sejarah sama dengan memotong satu akar penting dari pohon identitas kita.

Jika kita tidak bertindak hari ini, maka generasi berikutnya hanya akan mengenal Bandara Rambang dari lembaran arsip, bukan dari tapak nyata. Dan ketika itu terjadi, kita bukan hanya kehilangan tempat, tetapi kehilangan jati diri.

Sejarah bukan beban. Ia adalah bahan bakar identitas dan inspirasi. Alih fungsi Bandara Rambang tanpa pendekatan historis yang sensitif akan menjadi preseden buruk, sebuah sinyal bahwa di negeri ini, jejak sejarah bisa dikalahkan oleh kalkulasi jangka pendek. Dan itu, pada akhirnya, adalah bentuk kemiskinan paling tragis, yaitu kemiskinan akan ingatan.

Jika kita terus memilih jalan mudah, maka yang akan tertinggal bukan hanya puing-puing beton, tapi generasi yang tak tahu dari mana mereka berasal.

Bukan kah kata bijak Bung Karno pernah mengingatkan kita, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya.”

Maka, bagaimana dengan bangsa yang menelantarkan situs bersejarahnya demi sebongkah udang?

Wallohu'alam bisahawab. (**)