![]() |
| Ketua Lembaga Kajian Kebijakan dan Transparansi (LK2T) Dr. Karomi |
"Ketika integritas dipertanyakan, secerdas apa pun teknologi yang diadopsi, tata kelola pemerintahan tetap rentan runtuh"
KETUA Lembaga Kajian Kebijakan dan Transparansi (LK2T), Dr. Karomi menyoroti keputusan kontroversial Bupati Lombok Timur, Haerul Warisin, yang melantik kembali Parihin sebagai Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil).
Padahal, Parihin pernah dijatuhi sanksi penurunan pangkat akibat pelanggaran kedisiplinan Aparatur Sipil Negara terkait pernikahan keduanya.
Pengangkatan ini menimbulkan paradoks terhadap visi "Smart Government" yang diusung Bupati Iron Edwin. Dr. Karomi, Ketua LK2T, menegaskan bahwa integritas, rekam jejak, dan kepatuhan terhadap norma etik ASN harus menjadi pondasi utama penempatan pejabat publik, khususnya di instansi sensitif seperti Dukcapil.
Rekam Jejak dalam Sistem Meritokrasi
Dalam konteks penempatan ASN, sistem meritokrasi menuntut penilaian berdasarkan kualifikasi, kompetensi, dan kinerja objektif pertimbangan subjektif.
Penelitian di Kabupaten Majene menunjukkan bahwa prinsip merit system sering tidak terlaksana dengan baik pada pengisian jabatan eselon III, di mana faktor kedekatan politis maupun emosional dengan kepala daerah masih mendominasi .
Sementara itu, studi terbaru tentang model penelusuran rekam jejak ASN berbasis analisis kerentanan menekankan bahwa teknik intelijen dan analisis risiko sangat penting untuk mengidentifikasi kerentanan dalam catatan ASN sebelum merekomendasikan individu untuk peran strategis.
Pendekatan sistematis ini mengungkap potensi konflik kepentingan, risiko penyalahgunaan wewenang, dan afiliasi yang tidak sesuai yang mungkin terlewatkan dalam evaluasi konvensional.
Dukcapil: Instansi Strategis yang Memerlukan Integritas Tertinggi
Dinas Dukcapil merupakan institusi yang paling berhubungan langsung dengan masyarakat, mengelola data sensitif mulai dari KTP-el, Kartu Keluarga, akta kelahiran, hingga basis data kependudukan daerah. Dalam era digital, peran ini semakin krusial dengan hadirnya Identitas Kependudukan Digital yang merupakan program inovasi Kementerian Dalam Negeri.
Karena itu, standar integritas pejabatnya harus berada pada level tertinggi. Ketika seorang pejabat yang pernah menerima sanksi kedisiplinan kembali ditempatkan pada posisi strategis tanpa penjelasan terbuka kepada publik, maka ruang keraguan akan semakin besar terhadap kapasitasnya dalam mengelola data sensitif masyarakat.
Paradoks Visi "Smart" di Tengah Praktik Meritokrasi yang Bermasalah
Visi "Smart Government" tidak hanya sekadar digitalisasi layanan, tetapi menyangkut aspek yang lebih mendalam:
· Integritas pejabat sebagai fondasi tata kelola pemerintahan
· Kepatuhan terhadap norma etik ASN tanpa kompromi
· Konsistensi dalam menerapkan meritokrasi secara utuh
· Keberanian membuat keputusan yang selaras dengan prinsip reformasi birokrasi
Sayangnya, kebijakan mutasi ASN pasca terbitnya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 821/5492/SJ justru memberikan kewenangan sangat luas kepada Penjabat Kepala Daerah untuk memutasi Pegawai Negeri Sipil tanpa persetujuan Kementerian Dalam Negeri . Regulasi ini dinilai menghambat terwujudnya sistem meritokrasi dan perlu dicabut untuk mewujudkan implementasi sistem merit yang sesungguhnya.
Menuju Akuntabilitas dan Transparansi
Sebagai bentuk akuntabilitas publik, Pemerintah Kabupaten Lombok Timur seharusnya memberikan penjelasan resmi mengenai:
1. Dasar pertimbangan mengembalikan Parihin ke jabatan Kadis Dukcapil
2. Hasil evaluasi kinerja dan rekam jejak ASN yang bersangkutan
3. Mekanisme seleksi yang menjamin prinsip meritokrasi
Seperti yang ditunjukkan dalam penelitian tentang seleksi terbuka jabatan pimpinan tinggi pratama Sekretaris Daerah Kabupaten Blora, akuntabilitas prosedural dalam proses seleksi merupakan keniscayaan untuk memastikan prinsip meritokrasi terwujud .
Pengangkatan kembali pejabat yang pernah mendapat sanksi pelanggaran disiplin pada jabatan strategis seperti Kepala Dinas Dukcapil mengirimkan sinyal yang berbahaya bagi reformasi birokrasi. Digitalisasi tanpa integritas ibarat membangun istana di atas pasir – mungkin tampak megah di luar tetapi rapuh di fondasinya.
Pemerintah daerah perlu menyadari bahwa kepercayaan publik adalah mata uang paling berharga dalam tata kelola pemerintahan modern. Transparansi dalam proses pengangkatan pejabat bukanlah pilihan, melainkan keharusan untuk menjaga martabat birokrasi dan mewujudkan smart government yang sesungguhnya – cerdas secara teknologi, berintegritas dalam sumber daya manusia, dan akuntabel dalam pengambilan keputusan. (*)
Semua data dan informasi yang termaktub pada tulisan ini adalah tanggungjawab penulis

Comments