![]() |
Direktur Eksekutif LK2T, Dr. Karomi (foto/istimewa) |
SUARANUSRA.COM – Lembaga Kajian Kebijakan dan Transparansi (LK2T) Lombok Timur menyoroti tajam menampilkan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) tahun 2024 yang dinilai memberatkan masyarakat di tengah kondisi ekonomi yang masih rapuh pasca pandemi dan tekanan inflasi kebutuhan pokok.
Hasil kajian LK2T menunjukkan, kenaikan nilai pajak pada beberapa objek pajak mencapai tingkat yang tidak wajar. Pada salah satu objek pajak, nilai PBB yang sebelumnya stabil di angka Rp77.165 per tahun, tiba-tiba melambung menjadi Rp248.101 pada tahun 2024—kenaikan lebih dari 300% tanpa penjelasan yang transparan. Sementara pada objek pajak lain, dari nilai Rp22.198 per tahun langsung melonjak menjadi Rp202.011, atau kenaikannya hampir 900%.
“Lonjakan sebesar ini tidak bisa dianggap sebagai kesalahan teknis semata. Ini indikasi kuat bahwa kebijakan fiskal daerah berada di jalur yang salah dan lepas kendali. Apalagi alasan 'pembangunan' yang dipakai justru berpotensi menggerus daya beli rakyat dan mengancam keberlangsungan kehidupan masyarakat kelas bawah,” tegas Direktur Eksekutif LK2T, Jumat (15/8/2025).
LK2T menilai Bupati Lombok Timur sebagai pemegang kendali kebijakan fiskal memiliki tanggung jawab moral dan politik untuk memastikan pungutan pajak dilakukan secara adil, proporsional, dan transparan. Menurut kajian hasil kajian sementara LK2T, setidaknya ada empat masalah mendasar dalam penetapan PBB-P2 tahun 2024 ini:
1. Minim kajian dampak sosial-ekonomi sebelum penetapan nilai pajak baru.
2. Tidak adanya keterbukaan terkait formula dan indikator penentuan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang memicu kenaikan ekstrem.
3. Kegagalan komunikasi publik , dimana masyarakat hanya menerima tagihan tanpa penjelasan yang memadai.
4. Potensi regresif , di mana pemilik modal besar lebih mudah menghindar atau bernegosiasi, sementara masyarakat kecil justru terhimpit.
“Jika kebijakan ini tetap dipertahankan, kita akan menghadapi krisis kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah. Hal ini berpotensi memicu perlawanan warga dan meningkatkan legitimasi kepemimpinan daerah,” pernyataan LK2T secara tertulisnya.
Melalui kajian ini, LK2T mendesak Bupati Lombok Timur untuk segera:
1. Membatalkan sementara kenaikan PBB yang melonjak drastis pada tahun 2024.
2. Melakukan audit terbuka terhadap penentuan proses NJOP.
3. Menyusun kebijakan pajak berbasis kemampuan membayar masyarakat, bukan semata-mata menargetkan pendapatan daerah.
“Rakyat bukan mesin pencetak uang bagi kas daerah. Mereka berhak mendapatkan keadilan fiskal, penjelasan yang jujur, dan perlakuan yang manusiawi,” pungkas Karomi.
Lombok Timur – Lembaga Kajian Kebijakan dan Transparansi (LK2T) Lombok Timur menyoroti tajam menampilkan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) tahun 2024 yang dinilai memberatkan masyarakat di tengah kondisi ekonomi yang masih rapuh pasca pandemi dan tekanan inflasi kebutuhan pokok.
Hasil kajian LK2T menunjukkan, kenaikan nilai pajak pada beberapa objek pajak mencapai tingkat yang tidak wajar. Pada salah satu objek pajak, nilai PBB yang sebelumnya stabil di angka Rp77.165 per tahun, tiba-tiba melambung menjadi Rp248.101 pada tahun 2024—kenaikan lebih dari 300% tanpa penjelasan yang transparan. Sementara pada objek pajak lain, dari nilai Rp22.198 per tahun langsung melonjak menjadi Rp202.011, atau kenaikannya hampir 900%.
“Lonjakan sebesar ini tidak bisa dianggap sebagai kesalahan teknis semata. Ini indikasi kuat bahwa kebijakan fiskal daerah berada di jalur yang salah dan lepas kendali. Apalagi alasan 'pembangunan' yang dipakai justru berpotensi menggerus daya beli rakyat dan mengancam keberlangsungan kehidupan masyarakat kelas bawah,” tegas Direktur Eksekutif LK2T. Sabtu (16/8/2025).
LK2T menilai Bupati Lombok Timur sebagai pemegang kendali kebijakan fiskal memiliki tanggung jawab moral dan politik untuk memastikan pungutan pajak dilakukan secara adil, proporsional, dan transparan. Menurut kajian hasil kajian sementara LK2T, setidaknya ada empat masalah mendasar dalam penetapan PBB-P2 tahun 2024 ini:
1. Minim kajian dampak sosial-ekonomi sebelum penetapan nilai pajak baru.
2. Tidak adanya keterbukaan terkait formula dan indikator penentuan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang memicu kenaikan ekstrem.
3. Kegagalan komunikasi publik , dimana masyarakat hanya menerima tagihan tanpa penjelasan yang memadai.
4. Potensi regresif , di mana pemilik modal besar lebih mudah menghindar atau bernegosiasi, sementara masyarakat kecil justru terhimpit.
“Jika kebijakan ini tetap dipertahankan, kita akan menghadapi krisis kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah. Hal ini berpotensi memicu perlawanan warga dan meningkatkan legitimasi kepemimpinan daerah,” pernyataan LK2T secara tertulisnya.
Melalui kajian ini, LK2T mendesak Bupati Lombok Timur untuk segera:
1. Membatalkan sementara kenaikan PBB yang melonjak drastis pada tahun 2024.
2. Melakukan audit terbuka terhadap penentuan proses NJOP.
3. Menyusun kebijakan pajak berbasis kemampuan membayar masyarakat, bukan semata-mata menargetkan pendapatan daerah.
“Rakyat bukan mesin pencetak uang bagi kas daerah. Mereka berhak mendapatkan keadilan fiskal, penjelasan yang jujur, dan perlakuan yang manusiawi,” pungkas Karomi. (SN/02)
Comments