SUARANUSRA.COM - Pojok NTB, WALHI NTB, dan Lembaga Kajian Sosial dan Politik Mi6 akan menggelar Diskusi Publik bertemakan “Quo Vadis Kebijakan Iqbal-Dinda Berbasis Pencitraan”. Diskusi ini bagian dari upaya konstruktif untuk mengingatkan Gubernur dan Wakil Gubernur NTB memperbaiki keadaan mumpung belum terlambat.



“Diskusi Publik Ini adalah kolaborasi kedua kami, Mi6 dan Pojok NTB. Kali ini, Walhi NTB ikut membersamai. Kami ingin semua pihak menempatkan Diskusi Publik ini sebagai pengingat bahwa setiap pemimpin membutuhkan kritik. Hanya lewat suara publik, pemimpin dapat menyadari kekeliruan yang tidak akan pernah disampaikan bawahan,” kata Direktur Mi6 Bambang Mei Finarwanto di Mataram, Jumat (13/6/2025).



Analis politik kawakan Bumi Gora yang karib disapa Didu ini menjelaskan, Diskusi Publik rencananya akan digelar Kamis, 19 Juni 2025 di Tuwa Kawa Coffee & Roestery pada pukul 19.30 wita s.d 22.30 wita. Sejumlah pembicara akan diundang untuk hadir dalam diskusi. Dari kalangan akademisi ada Dr. Lalu Wira Pria Suhartana yang merupakan Dekan Fakultas Hukum Universitas Mataram dan Dr. Alvin Syahrin. Panitia Diskusi Publik akan mengundang Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unram Prof. Mansur Afifi yang merupakan pengamat perbankan, juga akan didaulat berbicara.



"Dr Alvin Sahrin sudah konfirmasi bersedia menjadi Narsum dari kalangan Akademisi. Sementara yang lain akan dihubungi langsung oleh Panitia untuk minta kesediaannya menjadi narasumber, " kata didu



Selain itu, Diskusi Publik juga akan menghadirkan tokoh masyarakat yang juga ulama dari Lombok Timur TGH Najamuddin Mustafa. Dari kalangan wakil rakyat akan hadir Anggota Komisi I DPRD NTB Suhaimi. Dan menggenapi para pembicara tersebut akan ada Eksekutif Daerah WALHI NTB Amri Nuryadin dan Direktur LOGIS NTB M Fihiruddin. Dan dimoderatori oleh Abdul Majid. 



Didu mengungkapkan, apa yang mengemuka dalam diskusi ini tidak dibatasi. Namun, boleh jadi akan muncul kritik keras dan pedas, sehingga ada pihak-pihak yang merasa tidak nyaman. Bahkan ketidaknyamanan mungkin juga dirasakan pimpinan daerah. Tapi kata Didu, tujuan Diskusi Publik ini bukan itu. Melainkan menjadi momentum untuk menguatkan arah kepemimpinan dan menghindarkan NTB dari kebijakan dan kekeliruan berulang.



Sebab, kata Didu melanjutkan, kalau hanya sekadar reaktif terhadap ketidaknyamanan imbas kritik terbuka, publik Bumi Gora juga tentulah yang paling pantas menuntut, karena mereka tidak akan pernah nyaman dengan pemimpin yang hanya fokus pada pencitraan. Tampil setiap hari, namun tidak kunjung terlihat hasil kerjanya.



”Tiap hari tampil, tapi tak satu pun masalah selesai. Blusukan tanpa perubahan itu hanya akan menjadi jalan-jalan berseragam. Karena itu, jika sampai hari ini para pemimpin kita terlihat sibuk tapi tidak ada yang berubah, mungkin yang bekerja hanyalah pencitraan,” tandas Didu.



Senada dengan Didu, Admin Pojok NTB M Fihiruddin mengemukakan, pemimpin harusnya bersyukur ktitik publik terhadap kepemimpinan daerah masih terus ada. Apalagi, masyarakat berkreasi sendiri menciptakan panggung yang menjadi tempat mereka untuk bersuara.



”Kritik publik itu adalah bentuk tertinggi kepedulian. Pemimpin yang alergi kritik sesungguhnya sedang alergi pada rakyatnya sendiri,” ucap Direktur LOGIS NTB ini.



Aktivis dari kalangan muda ini menegaskan, lebih dari tiga bulan Gubernur H Lalu Muhamad Iqbal dan Wakil Gubernur Hj Indah Dhamayanti Putri memimpin NTB, teramat sulit menepikan pandangan publik, betapa kedua pimpinan daerah ini hanya bekerja berbasis pencitraan semata. Akibatnya kata Fihir, pemerintahan tak ubahnya berjalan karena sistem dan rutinitas. Bukan karena kepemimpinan aktif.



Publik tidak pernah mendengar ada pernyataan publik strategis tentang arah pembangunan daerah. Tidak terlihat pula fungsi koordinasi yang intensif dan disertai inisiatif kebijakan. Sementara di sisi lain, pengambilan keputusan terlihat berjalan pasif atau reaktif.



”Pemerintah hanya hadir secara administratif, tapi absen secara visioner dan eksekutif,” ucap Fihir.


Yang terlihat di hadapan publik dalam tiga bulan terakhir kata Fihir adalah pimpinan daerah yang hadir di acara-acara seremonial. Sementara intervensi kebijakan akseleratif terhadap isu-isu penting menyangkut kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, dan infrastruktur dasar, justru masih sangat minim.



”Itu menandakan betapa Gubernur dan Wakil Gubernur kita tidak memimpin, melainkan hanya menampakkan diri,” tandas Fihir.



Sementara itu, Dewan Pendiri Mi6, Hendra Kusumag menyoroti minimnya perhatian Gubernur dan Wakil Gubernur NTB terhadap isu-isu lingkungan. Tiga bulan memimpin Bumi Gora kata Hendra , harusnya lebih dari cukup bagi kepala daerah jika memang memiliki perhatian terhadap isu lingkungan.



Dalam tiga bulan, kepala daerah bisa menetapkan prioritas dan visi yang jelas soal keberlanjutan. Bisa menginisiasi kebijakan atau program konkret, seperti moratorium izin tambang yang merusak lingkungan, penataan ulang tata ruang, atau kampanye pengurangan sampah. Bisa pula menunjukkan keberpihakan anggaran, misalnya dengan alokasi lebih besar pada program konservasi atau pengelolaan sampah.



“Tapi, kalau ternyata setelah tiga bulan belum ada juga publik melihat langkah nyata, maka bisa jadi ini bukan soal waktu. Tapi murni soal kemauan politik,” kata Hendra Kusumah yang juga Ketua Panitia Diskusi Publik Pojok NTB dan Mi6. 



Dia menegaskan, lingkungan adalah fondasi dari semua aspek pembangunan. Tanah, air, udara, hutan, semuanya adalah sumber kehidupan. Jika rusak, maka petani kehilangan lahan subur, nelayan kehilangan tangkapan, warga terkena banjir, kekeringan, dan polusi. Karena itu kata Hendra, pemimpin yang abai soal ini sedang membiarkan masyarakatnya perlahan-lahan kehilangan hak dasar, yakni hidup yang layak.



“Ketika seorang pemimpin diam atas kerusakan lingkungan, ia sedang memilih berpihak bukan pada rakyat, tapi pada kepentingan jangka pendek yang merusak masa depan,” tutup Hendra Kusumah. (**)