Oleh: Amir Mahmud
(Aktivis pegiat sosial dan peneliti pada Lombok Riset Center)
TAK ada yang spesial dari isu sampah. Sejak lahir sampah sudah menjadi persoalan. Ada banyak jenis sampah dalam persoalan kehidupan manusia. Bahkan 'manusia' saja kadang-kadang bisa di sebut sampah ketika menimbulkan persoalan. Sampah selalu identik dengan persoalan. Apalagi segala sesuatu (benda) jelas-jelas mengganggu ekosistem sudah barang pasti disebut sampah.
Namun, jauh di negeri seberang-untuk tidak menyebut beberapa negara yang sudah mapan dalam pengelolaan sampah-tidak lagi menjadikan sampah sebagai masalah tapi menjadi peluang tumbuhnya sumber pendapatan, terbukanya lapangan pekerjaan dan terselamatkannya lingkungan.
Beberapa negara yang di survei Enviromental Perfomance Indeks (EPI), 2022, dalam riset kolaborasi antara Yale University, Columbia University dan MacCall MacBain Foundation menyebutkan 10 negara dengan skor tertinggi pengelolaan sampah, menempatkan Luxemburg sebagai negara paling terdepan dari 180 negara di dunia. Di ikuti Austria, Swiss, Republik Ceko, Islandia, Korea Selatan, Singapura, dan terakhir Swedia, lalu Norwegia terakhir Finlandia. (Goodstats).
Beberapa negara di atas telah melakukan inovasi pengelolaan sampah dengan sangat maju. Inovasi yang di temukan negara-negara dengan sistem 'waste recovery' terbaik adalah proses panjang pembelajaran dengan masyarakat.
Apapun sistem dan inovasi pengelolaan limbah sampah yang di aplikasikan negara tersebut hasil dari gerakan penyadaran yang di lakukan masyarakat bersama regulator (pemerintah)
Pengelolaan sampah tidak akan pernah berhasil selama manusia penghasil sampah tidak memiliki kesadaran. Sebaik apapun program dan peta pengelolaan sampah yang di desain tidak akan memberikan dampak signifikan selama mental manusia sebagai subjek itu sendiri belum di benahi.
Negara-negara terdepan dengan sistem pengelolaan sampah yang inovatif semuanya bersumber dari kesadaran manusianya kemudian di bantu regulasi ketat dan tegas. Komitmen terhadap kesehatan, lingkungan bersih, polusi udara bersih, keberlangsungan hidup mahluk termasuk manusia menjadi prioritas.
Kita bisa belajar dari negara-negara terdekat lingkup asean. Ada Jepang dan Korea Selatan misalnya, memiliki metode pengolahan dan pengelolaan sampah dengan baik. Jepang dengan konsep 3 R (reduce, reuce dan recycle). Berhasil mengurangi volume timbunan sampah sejak 2005. Namun semua itu berbasis pada komitmen penyelenggara negara sebagai Regulator mendorong rakyatnya mematuhi segala aturan yang berkaitan dengan pengelolaan sampah.
Selain itu, pemerintah Jepang juga mengedukasi masyarakat dengan melibatkan semua aspek kebutuhan hidup masyarakat terhadap isu sampah. Sampah mengganggu kesehatan. Mencemari lingkungan. Menambah polusi udara.
Isu kesehatan manusia dan pencemaran lingkungan menjadi isu strategis membangun kesadaran masyarakat. Tanggungjawab tidak hanya di Hulu pemerintahan tetap juga di hilir kerakyatan. Pemerintah hanya butuh serius menangani persoalan persampahan itu dengan responden kebijakan. Pro lingkungan dan kesehatan.
Disebelah Jepang, negara dengan mata sipit berikutnya yang memiliki sistem pengolahan sampah baik adalah Korea Selatan dengan metode Volume Based Waste Fee. Pengolahan sampah dengan pengenaan biaya terhadap pembuangan sampah berdasarkan volumenya.
Artinya ada pendekatan regulasi yang di gunakan otoritas pemerintah Korea Selatan menerapkan metode tersebut. Dan itu pasti sangat ketat. Pada dasarnya metode itu basisnya adalah kesadaran warga negara sebagai subjek dari program itu. Tidak mungkin sebuah regulasi dipaksakan ke konstituen jika tidak melalui proses pendidikan dan penyadaran.
Apapun metode pengelolaan sampah diterapkan, mulai dari negara yg paling terdepan seperti Luxemburg sangat pasti kesadaran warga, pengusaha, dan produsen sebagai penyedia plastik memiliki kesepahaman juga kesadaran pentingnya menyelamatkan lingkungan dan penghuninya. Lalu bagaimana dengan kita? Kabupaten Lombok Timur?
Membangun Kesadaran Warga
Apapun agenda pembangunan yang direncanakan maka "manusia" harus menjadi subjek utama pembangunan tersebut. Persoalan pembangunan seringkali melupakan faktor utamanya: manusia. Pengambil kebijakan kadang abai dengan sumber daya manusia yang ada. Seringkali menihilkan peran warga sebagai subjek pembangunan.
Dalam konteks pengelolaan sampah kita yang semakin meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan tingginya konsumtif masyarakat, ancaman lingkungan dan kesehatan oleh timbunan limbah sampah yang tidak tertangani dengan baik mengakibatkan pencemaran lingkungan juga ancaman bencana lainnya semakin nyata.
Pemerintah Lombok Timur melalui Dinas Lingkungan Hidup dan Bappeda memiliki agenda pengelolaan sampah sejak di keluarkannya regulasi tentang pengelolaan sampah yaitu Undang-undang no 18 tahun 2008.
Pada prinsipnya pengelolaan sampah bukan tanggungjawab satu entitas tetapi menjadi tanggungjawab semua pihak baik pemerintah, produsen, dan masyarakat. Sebagaimana pada pasal 12 bab IV Undang-undang no 18 tahun 2008 menyebutkan: setiap orang dalam pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga, wajib mengurangi dan menangani sampah dengan cara yang berwawasan lingkungan.
Dari pasal di atas jelas pertanggungjawaban yang di minta regulasi kepada kita semua sebagai pelaku bahwa frase "setiap orang" merujuk kepada seluruh manusia Indonesia bertanggungjawab menangani sampah dengan basis kesadaran.
Dengan demikian mekanisme penanganan sampah tidak bisa serampangan. Ada mekanisme edukatif kepada masyarakat secara menyeluruh untuk memahami persoalan sampah. Pengelolaan sampah merupakan sesuatu yang penting di ketahui dampak dan akibatnya ketika masyarakat abai dan tidak bijak menangani sampah.
Pertanyaannya apakah proses pendidikan penyadaran masyarakat sudah di lakukan secara komprehensif untuk penanganan sampah? Lalu siapa saja yang dilibatkan?
Keseriusan Pemerintah Daerah
Pada pemerintahan baru SMART persoalan isu sampah, penulis dengar menjadi atensi kepala daerah. Persoalan sampah harus di tangani secara serius. Bahkan Keinginan Bupati Lombok Timur membangun TPST di lima dapil.
Namun keinginan itu tidak akan efektif jika tidak di ikuti dengan political will kepala daerah dalam bentuk kebijakan nyata: keberpihakan anggaran dan sistem perencanaan yang berkesinambungan.
Untuk mendorong penanganan sampah secara komprehensif harus berbasis kolaborasi dengan berbagai pihak dan multi stekholder. Semua elemen masyarakat harus di libatkan dan di ajak urun rembuk membicarakan strategi dan langkah-langkah konkrit aksi penanganan sampah.
Kehadiran komunitas pegiat sosial juga stekholder swasta dalam forum multi stekholder menjadi penting di inisiasi pemerintah.
Kerja kolaboratif antar semua pihak adalah jawaban dari persoalan penanganan sampah kita yang semakin hari terus bertambah. Kerjasama lintas pemangku kepentingan juga harus di intesifkan sebagai jaringan supra struktur penanganan sampah.
Pemerintah tidak akan mampu mengatasi dan menangani persoalan sampah ini jika hanya menggunakan pendekatan birokrasi ansich. Sebab sampah tidak ada di birokrasi tetapi hadir di tengah masyarakat.
Pemerintah harus berani berbagi Kerja dan kegiatan dengan kelompok sipil dan pegiat sosial lainnya. Ego sektoral harus di eliminasi. Saatnya kerja kolaboratif antara masyarakat dan pemerintah di gelorakan. Karena tidak semua hal bisa di kerjakan birokrasi pemerintahan.
Kerja-kerja advokasi, pengorganisasian dan pendidikan komunitas tidak bisa di kerjakan birokrasi pemerintahan. Pemerintah cukup menjadi leader program. Biarkan Kerja pendidikan penyadaran menjadi tugas kelompok sipil dan lembaga pegiat sosial lainnya.
Kepala daerah cukup menjadi pemberi suport kebijakan menyiapkan keberpihakan anggaran kepada instansi dinas yang menjadi leading sektor agenda penanganan sampah dalam hal ini dinas lingkungan hidup dan kehutanan beserta Bappeda Lombok Timur.
Pemerintah butuh menyiapkan sistem monetisasi bagi terbangunya kesadaran warga berbasis komunitas. Baru kemudian menyiapkan aksi berikutnya untuk mengeksekusi sampah yang terbagi menjadi dua zonasi yaitu sampah rumah tangga desa dan sampah rumah tangga kota.
Pada akhirnya kita butuh keseriusan dan komitmen kepala daerah dan lembaga legislatif untuk membuktikan komitmennya membangun sistem pengelolaan sampah yang berwawasan lingkungan dengan keberpihakan anggaran dan sistem kolaboratif bersama rakyat sehingga menghadirkan kebijakan SMART. (**)
Comments